Cari Blog Ini

Kamis, 26 Mei 2016

"RUMAH"

Jakarta, 19 Mei 2016
Cengkareng, Jakarta Barat - DKI Jakarta


Mendadak ingin pulang dan memeluk anak dan istri setiba di rumah. Airmata mendesak tumpah. Kalau bukan karena rasa malu ketahuan banyak orang yang begitu besar, sudah kubiarkan tangis itu menjadi isak. Dan kubiarkan tubuh ini diguncang-guncang haru melihat anak-anak itu melepas rindu. Aku membalik badan. Tak kuat melihat anak-anak yang menangis berhamburan ke pelukan ayah-ayah mereka. Sedang ibu-ibu mereka, para istri yang menyengaja datang mengunjungi suaminya tersenyum menenteng oleh-oleh yang dibawa dari luar penjara. Mereka berdiri menunggu sampai suaminya mengarahkan ke tempat mereka akan duduk melepas rindu di taman yang disediakan untuk para pengunjung. Ini pertama kalinya aku berkunjung ke lapas. Bertemu sahabat yang mendiami bui untuk menebus perbuatannya melanggar hukum. Aku bersama tiga orang kawan. Lama menunggu sahabat itu tiba di area pengunjung. Saat itulah haru membuncah dada. Anak-anak yang entah berapa lama tak berjumpa ayah mereka menjerit dan menangis melihat ayah mereka melewati pos pemeriksaan dan pagar besi serupa jeruji. Anak-anak itu melepas pegangan ibu mereka. Berlari dan menghambur ke pelukan ayahnya sambil terisak berkata, “Ayah…” Seketika ingatanku menuju rumah. Kepada anak dan istri. Batinku berdoa, “semoga kami terhindar dari pengalaman serupa.” Setitik dua titik ada juga air mata yang menetes. Aku mengusapnya. Kemudian lelah memenuhi kepala. Menjalari seluruh tubuh. Entah. Aku tak bisa berkata-kata. Sahabat itu belum juga tiba. Aku sangat merindukan rumah. Tergambar rupa rumah yang kami tempati – rumah mertua. Rumah sederhana dengan isi yang biasa-biasa saja. Tak ada barang mewah di dalamnya. Tapi di sanalah taman firdaus itu. Tumbuh di hati kami. Menjadi tawa. Menjadi suka. Menjadi irama yang menggerakkan jiwa menari dan menyanyi dalam segala rasa; bahagia dan derita hanyalah permainan hidup belaka. Sungguh, aku ingin pulang. Memeluk anak dan istri. Mengajak mereka merawat rumah. Menjaga rumah dari celaka yang bisa menimpa siapa saja, bahkan pengelana yang telah berhati-hati sekalipun, terpaksa meninggalkan rumah, bahkan lupa pulang. Karena kita musyafir yang rentan dihinggapi segala bentuk penyakit diri, merawat rumah juga meruwatnya, sebuah kewajiban; merawat laku agar rumah menjelma surga; merawat tingkah saat di luar rumah agar langkah tak enggan mengayun pulang; meruwat jiwa yang lena. Sebab rumah tempat pulang paling sah.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/iben-nuriska/rumah_57468a372023bd5610613709

Mendadak ingin pulang dan memeluk anak dan istri setiba di rumah. Airmata mendesak tumpah. Kalau bukan karena rasa malu ketahuan banyak orang yang begitu besar, sudah kubiarkan tangis itu menjadi isak. Dan kubiarkan tubuh ini diguncang-guncang haru melihat anak-anak itu melepas rindu. Aku membalik badan. Tak kuat melihat anak-anak yang menangis berhamburan ke pelukan ayah-ayah mereka. Sedang ibu-ibu mereka, para istri yang menyengaja datang mengunjungi suaminya tersenyum menenteng oleh-oleh yang dibawa dari luar penjara. Mereka berdiri menunggu sampai suaminya mengarahkan ke tempat mereka akan duduk melepas rindu di taman yang disediakan untuk para pengunjung. Ini pertama kalinya aku berkunjung ke lapas. Bertemu sahabat yang mendiami bui untuk menebus perbuatannya melanggar hukum. Aku bersama tiga orang kawan. Lama menunggu sahabat itu tiba di area pengunjung. Saat itulah haru membuncah dada. Anak-anak yang entah berapa lama tak berjumpa ayah mereka menjerit dan menangis melihat ayah mereka melewati pos pemeriksaan dan pagar besi serupa jeruji. Anak-anak itu melepas pegangan ibu mereka. Berlari dan menghambur ke pelukan ayahnya sambil terisak berkata, “Ayah…” Seketika ingatanku menuju rumah. Kepada anak dan istri. Batinku berdoa, “semoga kami terhindar dari pengalaman serupa.” Setitik dua titik ada juga air mata yang menetes. Aku mengusapnya. Kemudian lelah memenuhi kepala. Menjalari seluruh tubuh. Entah. Aku tak bisa berkata-kata. Sahabat itu belum juga tiba. Aku sangat merindukan rumah. Tergambar rupa rumah yang kami tempati – rumah mertua. Rumah sederhana dengan isi yang biasa-biasa saja. Tak ada barang mewah di dalamnya. Tapi di sanalah taman firdaus itu. Tumbuh di hati kami. Menjadi tawa. Menjadi suka. Menjadi irama yang menggerakkan jiwa menari dan menyanyi dalam segala rasa; bahagia dan derita hanyalah permainan hidup belaka. Sungguh, aku ingin pulang. Memeluk anak dan istri. Mengajak mereka merawat rumah. Menjaga rumah dari celaka yang bisa menimpa siapa saja, bahkan pengelana yang telah berhati-hati sekalipun, terpaksa meninggalkan rumah, bahkan lupa pulang. Karena kita musyafir yang rentan dihinggapi segala bentuk penyakit diri, merawat rumah juga meruwatnya, sebuah kewajiban; merawat laku agar rumah menjelma surga; merawat tingkah saat di luar rumah agar langkah tak enggan mengayun pulang; meruwat jiwa yang lena. Sebab rumah tempat pulang paling sah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar